Akhir-akhir ini sesuatu yang dalam mengetuk pikiranku untuk bersuara walau hanya dengan tulisan. Tentang sesuatu yang terjalin dari pengalaman dari waktu ke waktu menekuni dunia yang penuh dewasa ini, dunia yang biasa disebut profesional, dunia yang perlahan membentuk cara pandangku terhadap diri dan bagaimana kehidupan banyak orang terus berjalan. Sebenarnya, ini bukan goresan dengan tokoh didalam kisahnya, ini lebih menceritakan setiap orang dalam perannya masing-masing dan sebuah batasan lahir diantaranya.
Selama ini, aku (dan mungkin bisa jadi siapa saja) hampir selalu berusaha memahami terlalu banyak hal sekaligus, melampaui batas yang seharusnya cukup. Ketika gagal, rasa bersalah datang seperti mimpi buruk yang menghantui, seolah belum menjadi seseorang yang “serba bisa” seperti yang diinginkan pada ruang ini. Namun seiring waktu, aku belajar memaafkan hal itu, dan aku belajar dari orang-orang yang sudah pernah memaafkan. Seharusnya memang tidak semua hal harus dikuasai. Bahwa menjadi cukup bukan berarti berhenti, melainkan mengenali apa yang memang menjadi titik keahlian kita, lalu tumbuh di dalamnya dengan kesadaran penuh. Bahkan dimanapun tempatnya.
Aku percaya setiap orang memiliki kehadirannya sendiri, ruang konsistensi dan pengetahuannya yang mampu menemukan makna. Tidak ada yang benar-benar ahli di segala hal, karena dunia ini terlalu luas untuk digenggam oleh satu tangan. Aku melihatnya sendiri.. Keahlian yang sungguh-sungguh tidak datang dari mencoba menjadi segalanya, melainkan dari ketekunan untuk menjadi seseorang pada sesuatu.
Di sisi lain pertanyaan selanjutnya mengambang, apakah itu berarti kita selalu bertahan di zona nyaman yang hampa ini? Ku rasa.. Tidak juga. Hidup tak pernah sungguh-sungguh nyaman. Kita selalu bergerak di antara tuntutan, harapan, dan ketidakpastian. Setiap orang membawa bebannya sendiri, menghadapi persoalan yang tak mungkin sama satu sama lain.
Dan tepat di sela hari ini, aku yang lelah dan bersandar mulai bisa melihat semua ini..
Manusia selalu mencari apa yang belum dimilikinya, bukan semata karena kelebihannya, melainkan karena kekurangannya yang terus menuntun untuk melengkapi diri. Di sanalah letak kejujuran paling sunyi dari setiap pencarian.. bahwa di balik upaya untuk menjadi cukup, selalu ada celah yang menggerakkan. Keinginan, ambisi, bahkan keegoisan, semuanya bagian dari upaya manusia membentuk dirinya, dan tanpa sadar, membentuk dunia kecil di sekitarnya.
Dari sudut pandang itu, aku melihat bahwa kehidupan tidak sesederhana roda yang berputar naik dan turun. Ia lebih menyerupai roda dengan celah dan lekuk yang saling menunggu untuk diisi. Dan di dalam putaran itu, manusia terus bergerak, bukan karena ingin belajar, tetapi karena dorongan untuk menguasai bentuknya sendiri. Ia ingin pas pada ruangnya, ingin diakui keberadaannya, ingin menjadi pusat dari apa yang ia pahami sebagai keseimbangan.
Kadang, yang menggerakkan manusia bukan pencarian makna, tapi kebutuhan untuk memastikan bahwa dirinya tetap berarti di tengah keterbatasan ruang dan waktu. Keinginan, ambisi, bahkan keegoisan, bukan sekadar sisi gelap, melainkan cara manusia menandai keberadaannya di dunia yang terus bergerak tanpa ada ruang tunggu.
Begitulah.. Jika kita mau pergi ke sudut ruang dan sedikit memperhatikan.. Nyatanya titik temu pada setiap perputaran, seberapa pun cepat atau lambat, selalu membutuhkan sumbu.
Sesuatu yang tidak tampak, namun terus bergerak dengan tenang di pusatnya, memperhatikan ritme, menyesuaikan arah, memastikan roda tetap berjalan sebagaimana mestinya. Ia tidak mencari sorot, tidak perlu menjadi pusat perhatian, tapi tanpanya, keseimbangan itu tidak pernah ada.
Sumbu tidak membakar, meski di dalamnya selalu ada potensi untuk menyala. Ia hanya menjaga, dengan caranya sendiri, hadir, diam, tapi bekerja bersama waktu.
Dan mungkin begitulah manusia, mungkin aku, mungkin orang-orang disekitarku, yang bertahan di dalam putaran dunia ini, di banyak ruang: tidak selalu tampak, tidak selalu terdengar, namun menjadi alasan mengapa segala sesuatu bisa terus bergerak tanpa kehilangan bentuknya.


